Pondok-pondok kecil yang dibuatkan untuk para penuntut ilmu adalah sebagai tempat untuk beristirahat sejenak, melepas lelah ketika usai menerima ilmu dari para ustadznya. Masjid adalah tempat mereka belajar dan beribadah, namun ini bukanlah ukuran atau tolak ukur tempat belajar, sebab tidak ada Alquran ataupun hadits yang menentukan tidak boleh atau boleh belajar diluar atau didalam masjid, sebab kalau kata rasulullah, أنتم أعلم بأمور دنياكم “Anda lebih mengerti urusan dunia anda”. Jika pada zaman rasulullah, justru rumah itu menjadi universitas atau pesantren atau apalah namanya jika kita katakan pada masa ini, tidak ada aturan baku, karena semua berproses, namun tentunya proses itu sudah berabad hingga masa ini. Kita tidak akan mengatakan bahwa masa ini justru tempat pendidikan menjadi seperti rumah, seyogyanya kita mengetahui bahwa rumah adalah tempat istirahat, memasak dan lain sebagainya, dan bahkan tempat menumpuk harta benda, tentunya berbeda zaman dahulu kala dengan zaman masa kini, namun perbedaan itu sesungguhnya manusia itu sendiri yang menciptakan.
Seiring berjalannya waktu, maka pesantren adalah tempatnya menuntut ilmu, apapun itu bidang keilmuannya, dari ilmu agama sampai ilmu pengetahuan umum, tentunya tidak ada yang menyalahi aturan dalam hal ini.
Seorang guru atau ustadz atau apalah namanya, dahulu kala akan merasa resah dengan merosotnya kemampuan anak dalam belajar, sehingga semua diteliti, namun semua berawal dari makanan, dan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang tidak sepaham, namun tetap saja hal-hal yang halal dan haram akan menjadi latar belakang atau dasar dalam menentukan susuatu pekerjaan, sangat membingungkan jika sudah mengkaitkan rezeki dengan zaman.
Para ulama sangat takut jika bersinggungan dengan apa yang dikonsumsi oleh muridnya, yang ditakutkan adalah keharaman, sebab dampak dari yang haram tentunya menolak ilmu yang akan ditransfer oleh gurunya, terlepas dari kebodohan yang berkepanjangan disebabkan riwayat keturunan.
Kembali kepada pemahaman yang sebenarnya, sebab semua yang dilisankan dan dilafadzkan oleh insan adalah relatif, baik itu relatif benar ataupun salah, kemutlakan itu hanya milik pencipta alam. (MST)
Tidak ada komentar
Posting Komentar